Senin, 21 Maret 2011

FAKTA SEJARAH

FAKTA SEJARAH

A. Munculnya Negara/Kerajaan Bahari di Nusantara
Fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa fenomena kehidupan kebaharian kekinian, khususnya bidang birokrasi/pemerintah, pelayaran, dan perikanan merupakan kontinyuitas dari proses perkembangan fluktuatif kehidupan kebaharian masa lalu
. Proses perkembangan politik kenegaraan dengan infrastruktur yang fluktuatif tersebut memberi gambaran akan muncul dan menghilangnya secara bergantian kerajaan-kereajaan maritim besar dan kecil dari masa lalu hingga masa Indonesia merdeka. Munculnya kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara masa lalu yang berdaulat dengan sistem pertahanan keamanan yang ampuh, tumbuhnya sektor-sektor ekonomi kebaharian terutama pelayaran dan perikanan, aplikasi pengetahuan dan teknologoi kelautan, dan diadakan serta diberlakukannya kebijakan dan hukum/perundang-undangan laut banyak merupakan hasil kreativitas-inovatif internal. Semua ini merupakan bukti prestasi masyarakat bahari massa lalu yang semestinya diberikan apresiasi setingi-tingginya oleh anak bangsa Indonesia sekarang.

Politik Budaya Bahari
Masuknya bangsa asing melalui jalur pelayaran laut ke wilayah Nusantara dapat ditelusuri melalui keberadaan Kerajaan Salakanegara di Selat Sunda sekitar abad-ll. Pada masa keberadaan Kerajaan tersebut telah tercatat berbagai bangsa asing yang sudah berlayar menjelajahi wilayah lautan Nusantara, diantaranya pelaut-pelaut dari negara China, India dan Arab. Bahkan kemudian ada dugaan juga para pelaut dari Yunani dan Romawi.
Beberapa abad setelah masa kejayaan Kerajaan Salakanegara usai, terutama sejak runtuhnya Kekaisaran Byzantium di Eropa oleh Kerajaan Turki Ottman tahun 1358, terjadi perubahan besar pada konfigurasi peta politik di kawasan Eropa. Perubahan tersebut pada gilirannya telah membawa pengaruh besar bagi arus kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke bumi Nusantara. Silih berganti kapal-kapal dari bangsa Inggris, Spanyol, Portugis dan Belanda mulai memasuki wilayah Nusantara. Motivasi pokok yang mendorong mereka berlayar jauh sampai ke Nusantara adalah mencari rempah-rempah dengan harga yang sangat murah karena saat itu rempah-rempah di kawasan Eropa adalah merupakan komoditas barang mewah dan mahal.
Fenomena masuknya kapal-kapal asing tersebut ke wilayah Nusantara ditandai dengan banyaknya armada pelayaran kapal dagang dan luar merapat di pelabuhan perairan pesisir pulau Sumatera - Jawa - Kalimantan - Sulawesi - Maluku sampai dengan Papua/lrian. Kedatangan armada kapal-kapal asing tadi di perairan Nusantara mulanya hanya berdagang. Namun demikian seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya mulai muncul keinginan mereka untuk menguasai wilayah-wilayah di Nusantara, khususnya di sekitar pelabuhan dan pesisir pantai.
Politik kolonial yang cenderung ingin menguasai wilayah-wilayah pelabuhan pada akhirnya membangun situasi dan kondisi yang menyuburkan politik perdagangan monopoli. Pelabuhan Batavia yang sejak tahun 1601 telah dikuasai oleh kaum imperialisme Belanda kiranya menjadi saksi sejarah adanya monopoli dagang bangsa Belanda di wilayah Nusantara.

Sejarah Singkat Kejayaan Budaya Bahari Nusantara
Perdagangan laut yang sebelumnya terbatas pada pemindahan komoditas dan kapal dagang mancanegara dan kapal dagang lokal, seiring waktu telah berkembang menjadi lebih efisien guna memangkas biaya. Kapal-kapal dagang mancanegara dapat secara langsung menuju pelabuhan penyedia komoditas rempah-rempah tanpa harus melalui pelabuhan perantara, dengan demikian pedagang perantara tidak diperlukan lagi.
Pengaruh yang dirasakan bagi pelabuhan di Malaka dan pelabuhan transit Kerajaan Sriwijaya kian hari kian sepi dan ditinggalkan oleh kapal-kapal dagang Eropa yang langsung berlayar menuju wilayah produksi rempah-rempah dan hasil bumi di Kepulauan Maluku dan Jawa. Hal inilah yang menyebabkan kemunduran Kerajaan Sriwijaya.
Komoditas hasil bumi yang diperdagangkan pada waktu itu antara lain : lada, cengkeh, pala, mutiara, sutera alam, kulit kerang, gading, timah, tembaga, kaca, gelas, keramik, vas bunga, lampu, anggur dan koin/mata uang.
Jalur pelayaran perdagangan bangsa-bangsa Eropa mengarungi Samudera Hindia berlangsung lama. Secara geografis jalur pelayaran yang melewati selat-selat yang saling berdekatan di perairan Asia Tenggara memungkinkan para pedagang melakukan transaksi jual beli ketika berlabuh di kerajaan-kerajaan Nusantara yang memiliki pelabuhan laut.
Semakin ramainya para pedagang yang berlayar melalui Selat Malaka telah mendorong penguasa kerajaan yang memiliki wilayah perairan dan pelabuhan tersebut untuk menarik pajak dari kapal-kapal dagang yang melewati dan berlabuh di wilayah kekuasaannya.
Berikut dapat dilihat beberapa contoh kerajaan di belahan Nusantara yang berhasil menjadi kerajaan yang memiliki kejayaan dalam perdagangan bahari, diantaranya adalah :
a. Kerajaan Sriwijaya (abad-VII sekitar tahun 684-1377 Masehi)
Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim yang besar dan kuat pada zamannya dan menguasai perdagangan di Selat Malaka. Semua kapal dagang yang melewatinya harus mem-bayar upeti dan bagi yang membangkang kapalnya akan diserang dan ditenggelamkan. Dari hasil upeti tersebut, Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan yang kaya raya. Puncak kejayaan Sriwi-jaya adalah sekitar abad-IX, yakni pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan raja-raja dari Mataram (keturunan Syailendra).
b. Kerajaan Majapahit (abad XIV sekitar tahun 1251-1459 Masehi)
Raden Wijaya yang bergelar Sri Kertanegara Jayawardhana menjadi Raja Majapahit pertama di awal abad XIV. Puncak kebesaran Majapahit dicapai pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada pada pertengahan abad XIV. Sebagian besar wilayah Nusantara dapat ditaklukkan. Bahkan pengaruhnya sampai ke Malaysia dan Singapura, mes-kipun tidak mampu menguasai kerajaan Sunda di Jawa Barat. Untuk mengawasi daerah kekuasaannya Majapahit membangun armada laut yang sangat kuat, yang digunakan untuk mengawasi perdagangan dan lalu lintas pelayaran di Nusantara.
Banyak duta negara sahabat datang menghadap ke istana negara Majapahit. Kebesarannya tidak hanya diakui oleh kerajaan-kerajaan Nusantara, tetapi juga sampai ke daratan Asia. Kepiawaian Mahapatih Gajah Mada dalam menyusun strategi perang laut menjadikan angkatan laut Kerajaan Majapahit disegani ketangguhannya dan tak ada tandingannya di Asia Tenggara.
Di tengah-tengah sidang agung kenegaraan Majapahit yang dihadiri oleh Wali Mahkota Kerajaan Majapahit yakni Tribhuana Tungga Dewi (Maha Rani) dan seluruh petinggi Kerajaan Majapahit. Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa yang diucapkan pada abad XIV, tepatnya tahun 1334 telah menjadi saksi dan tonggak sejarah perjalanan bangsa dan negara Indonesia tentang adanya "Dasar-Dasar Persatuan Nusantara".
c. Kerajaan Gowa (1548-1669)
Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing.
Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Nama Makassar sebenarnya adalah ibukota dari Kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Kerajaan Gowa (Makassar) merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti letak yang strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Dengan posisi strategis tersebut maka Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Sebagai pusat perdagangan Makassar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makassar. Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Kerajaan Makassar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.

Dalam konteks sejarah perkembangan peradaban kebaharian (maritime civilization) di Nusantara, khusunya Kerajaan Gowa Makassar di masa lalu, Mukhlis Paeni membedakannya atas dua tipe, yakni :
1. Tradisi Maritim Besar (maritime great)
Tradisi maritim besar mengandung aspek-aspek politik pemerintahan, ideologi dan hukum, perdagangan, ilmu pengetahuan dan teknologi, astrologi, filsafat, seni, dan arsitektur kebaharian. Pendukung tradisi maritim besar ialah keluarga birokrat dari lapisan bangsawan, saudagar kaya, pengelola industri maritim, militer, filosof, dan seniman yang tinggal di pusat-pusat kota.
2. Tradisi Maritim Kecil (little maritime tradition)
Tradisi maritim kecil mengacu pada aktivitas penangkapan ikan di laut, perikanan tambak, pengolahan hasil laut, dan sisitem pemasarannya. Ditipekan demikian karena aktivitas tersebut dilakukan secara kecil-kecilan dan mereka yang terlibat di dalamnya adalah rakyat golongan marginal penghuni daerah-daerah pesisir (Tu-Pabbiring) yang kebanyakan dalam kondisi miskin dan dikuasai oleh kelas-kelas pengusaha besar dan saudagar yang bermukim di kota-kota pantai.

d. Kerajaan Ternate
Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi Utara, Timur dan Tengah, bagian selatan Kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.

B. Catatan Sejarah Perikanan Laut di Nusantara
Dari perspektif kekuatan sosial politik dan ekonomi, kaum nelayan di manapun di dunia dari dahulu hingga sekarang memang selalu menjadi masyarakat marginal. Sebaliknya dari perspektf sosial budaya, bagian terbesar dari mereka itulah sesungguhnya dikategorikan sebagai masyarakat bahari sejati/tulen. Menggagas laut dan isinya, rekayasa sarana perhubungan untuk akses ke laut dan teknologi pemanfaatan sumber daya perikanan yang kaya dengan tipenya dan dinamika pengetahuan sebagai aktivitas pelayaran dan perilaku eksploitasi sumber daya laut, justru menjadikan kadar kebaharian kaum nelayan dalam berbagai unsur melebihi kadar budaya kebaharian para pelayar dan saudagar yang memanfaatkan lingkungan laut sebagai prasarana pelayaran (pelabuhan/dermaga dan rute rute pelayaran) semata.
Sejarah aktivitas penangkapan ikan di pelayaran nusantara ini juga dapat dilacak jauh ke belakang. Meskipun tingkat-tingkat perkembangan budaya perikanan kurang terkandung dalam catatan sejarah dibandingkan dengan aktivitas pelayaran (usaha perhubungan laut), namun dapat diduga bahwa aktivitas pelayanan berupa menangkap ikan dan mengumpulkamn biota laut tidak liar (kerang-kerangan, tumbuhan laut) tidak jauh lebih mudah dariipada aktivitas berburu dan meramu di darat yang mencirikan mode ekonomi subsistem masyarakat sedehana dimana-mana. Adapun pola altivitas kenelayanan dan mengumpulkan biota laut tidak liar juga sama dengan kalau bukan lebih tua daripada pola aktivitas ekonomi perhubungan antar pulau, apalagi perhubungan antarnegara
C. Catatan Sejarah Pengembaraan Pelayar dan Nelayan
Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia.
Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihatkan fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain, menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika.
Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar.
Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum,tulis Dick-Read pada pengantar buku terbarunya.
Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.
Jung-jung China lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai.Tentang hal ini, Oliver W.Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan China juga antara China dan India Selatan serta Persia pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa China hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.
I-Tsing, pengelana dari China yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, kerajaan yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di Laut Selatan. Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di jalur sutra melalui laut sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut Indonesia.
Dalam catatan sejarah pergerakan Indonesia, perjuangan nelayan tidak terekam jejaknya dengan jelas. Konon, jauh sebelum negeri ini merdeka, nelayan dengan kelompok-kelompok komunitasnya menjadi simbol kuatnya negeri bahari dan Nusantara. Dengan berbekal kebersamaan, terbentuk unit-unit usaha yang berada tepat pada pelabuhan-pelabuhan strategis, yang menjadi pusat perdagangan, bahkan tempat bongkar-muat dan transaksi perdagangan komoditas lokal (seperti rempah-rempah) yang dihasilkan petani dan nelayan Indonesia.
Dalam kehidupan kini, dalam melakukan aktivitasnya, penduduk bahari, terutama nelayan dan pelayar mempunyai mobilitas pengembaraan yang tinggi. Berbeda dengan pelayar yang tujuannya ialah pelabuhan-pelabuhan kota-kota pantai, nelayan yang memanfaatkan sumber daya hayati (ikan dan spesies-spesies biota lainnya) tujuannya ialah derah-daerah penangkapan (fishing grounds) di perairan pesisir dan laut dalam.
Berbeda dengan nelayan yang tujuan pengembaraannya terpusat ke daerah-daerah penangkapan (fishing grounds), kemudian ke pelabuhan atau pelelangan ikan untuk tangkapan, dan membeli perbekalan, pelayar dengan armadanya justru menjadikan pelabuhan kota-kota pantai dimana-mana sebagai pusat bongkar muat barang dan penumpang. Bagi mereka, lautan hanyalah merupakan prasarana dan rute-rute transportasi antarkota pantai, antarpuulau, antarnegara, dan bahkan antarbenua.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright 2008 All Rights Reserved | Tugas Kuliah Designed by Bloggers Template | Exercise Equipment | Watch Movies